Wisata Jalan Asik

Ada Kisah yang Tersembunyi di Balik Sejarah Kelenteng Tjoe Hwie Kiong Kediri

jatimnow.com – Kelenteng Tjoe Hwie Kiong adalah salah satu situs cagar budaya yang terus dilestarikan oleh Pemerintah Kota Kediri. Bangunan bersejarah ini telah berdiri kokoh selama lebih dari dua abad, tepatnya 206 tahun, dan menjadi saksi bisu perjalanan panjang waktu. Meskipun demikian, hingga hari ini, identitas sosok pendiri kelenteng tua yang sarat dengan nilai sejarah itu masih tetap menjadi teka-teki yang belum berhasil dipecahkan.

Ketua Umum Yayasan Tri Dharma Kelenteng Tjoe Hwie Kiong Kota Kediri, Prayitno Sutikno, mengungkapkan bahwa terdapat sebuah sejarah yang sering kali terlupakan terkait berdirinya bangunan bersejarah di Jalan Yos Sudarso, Kelurahan Pakelan, Kota Kediri. Menurutnya, salah satu peristiwa penting yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah kawasan tersebut adalah banjir besar yang melanda daerah itu pada tahun 1955, meninggalkan dampak signifikan bagi masyarakat setempat dan perkembangan wilayah tersebut.

Banjir dengan ketinggian mencapai lebih dari 1 meter tersebut telah menghanyutkan seluruh dokumen penting yang tersimpan di lokasi tersebut, termasuk berbagai catatan sejarah yang memiliki nilai yang sangat berharga dan tidak tergantikan.

“Jika merujuk pada catatan yang ada, tempat ini berdiri sejak tahun 1817. Dengan demikian, usianya saat ini sudah mencapai 206 tahun. Namun, mengenai siapa yang menjadi pendirinya, hingga saat ini tidak ada yang mengetahui. Hal itu disebabkan karena semua data yang berkaitan dengan pendirian tersebut lenyap akibat banjir besar yang terjadi pada tahun 1955,” ujar Prayitno, Sabtu (21/1/2023).

Menurut penuturan Prayitno, berdasarkan cerita yang digali dari para sesepuh, kelenteng ini didirikan oleh seorang perantau yang berasal dari Tiongkok. Perantau tersebut memanfaatkan jalur perdagangan yang ramai di sepanjang aliran Sungai Brantas sebagai bagian dari aktivitasnya. Meski demikian, hingga saat ini, identitas asli dari perantau misterius tersebut masih belum terungkap dan tetap menjadi teka-teki yang menarik perhatian banyak orang.

Seorang musafir dikisahkan tiba di kawasan tempat kelenteng yang masih berdiri hingga saat ini. Setibanya di lokasi tersebut, ia langsung memutuskan untuk mendirikan sebuah tempat sederhana yang digunakan sebagai tempat berdoa dan bermeditasi. Kebiasaan membawa dewa pelindung saat bepergian memang sudah menjadi tradisi yang lazim dilakukan oleh para perantau dari Negeri Tirai Bambu, sebagai bentuk penghormatan dan permohonan perlindungan dalam perjalanan mereka.

Pada masa itu, Dewi Samudra yang juga dikenal sebagai Tian Shang Sheng Mu dibawa dengan penuh penghormatan dan ditempatkan di sebuah area peribadatan yang terletak di tepi Sungai Brantas. Tempat ini dipilih dengan cermat karena dianggap sakral dan memiliki nilai spiritual yang tinggi.

“Istilah perkelentengan ini merujuk pada sosok Dewi Mak Co, yang juga dikenal sebagai Dewi Samudra, yang dipercaya sebagai figur utama sekaligus menjadi tuan rumah di tempat suci ini,” jelasnya.

Sebagai titik pusat perhatian utama, altar Dewi Tian Shang Sheng Mu berdiri megah di tengah bangunan utama yang menjadi inti dari tempat ibadah ini. Patung sang dewi tersebut dengan sengaja diorientasikan menghadap langsung ke arah Sungai Brantas. Hal ini dilakukan sebagai penghormatan terhadap lokasi bersejarah di mana ia pertama kali tiba dan memulai perjalanannya yang penuh makna.

Sementara itu, patung-patung dewa-dewi lainnya ditempatkan secara teratur di sisi-sisi berbeda dalam area kelenteng. Penempatan ini dilakukan dengan penuh perhatian agar menciptakan harmoni dan keseimbangan di dalam tempat ibadah tersebut. Hingga saat ini, tercatat ada sebanyak 17 patung yang tersimpan dan menjadi bagian penting dari kelenteng ini.

Salah satunya adalah patung tiga nabi agung yang terletak di sisi kanan bangunan utama, menjadi daya tarik tersendiri bagi para pengunjung. Ketiga patung tersebut berdiri sejajar dengan gagah, menciptakan harmoni visual yang memikat dan memancarkan kesan penuh keagungan.

Di sisi kiri, berdiri sebuah patung Lao Tze yang megah, lengkap dengan simbol yin-yang yang mencerminkan keseimbangan dan harmoni, nilai-nilai yang menjadi inti dari ajaran Taoisme. Simbol ini menjadi representasi dari interaksi antara dua kekuatan yang saling melengkapi, yin dan yang, dalam kehidupan. Sementara itu, di bagian tengah area terdapat patung Buddha Sakyamuni yang dihiasi dengan simbol swastika, sebuah tanda suci yang melambangkan keberuntungan, kebijaksanaan, dan keselarasan dalam ajaran Buddha.

Di sisi paling kanan ruangan, terdapat sebuah patung Kong Hu Cu yang berdiri dengan megah. Patung ini dilengkapi dengan simbol genta, yang melambangkan makna mendalam dan filosofi kehidupan yang diajarkan oleh sang guru bijak.

Tri Dharma adalah simbol utama di Kelenteng Tjoe Hwie Kiong, yang mencerminkan semangat untuk menjaga dan menghormati keberagaman dalam kehidupan bermasyarakat. Ikon ini tidak hanya menjadi tanda identitas kelenteng, tetapi juga menjadi pengingat pentingnya nilai-nilai toleransi dan kebersamaan di tengah perbedaan yang ada.

Salah satu hal yang benar-benar menarik perhatian adalah keberadaan sebuah patung besar yang terletak tepat di depan bangunan utama kompleks tersebut. Patung Dewi Mak Co ini menjulang dengan gagah, memancarkan aura kemegahan yang khas, dan berdiri tegak menghadap langsung ke arah aliran Sungai Brantas yang mengalir tenang.

Patung ini menjulang setinggi 5 meter dengan bobot mencapai 18 ton, proses pembangunannya dimulai pada tahun 2013. Dengan ukurannya yang megah, patung ini disebut-sebut sebagai yang tertinggi di Jawa Timur.

“Batunya asli yang kami gunakan merupakan hasil impor langsung dari China untuk memastikan kualitas terbaik,” jelas Prayitno.

Menjelang perayaan Tahun Baru Imlek, Kelenteng Tjoe Hwie Kiong telah melakukan berbagai persiapan yang penuh semangat. Beragam dekorasi, termasuk lampion warna-warni, dipasang untuk menghiasi setiap sudut kelenteng, menciptakan suasana yang semakin meriah dan indah. Persiapan ini tidak hanya bertujuan mempercantik tempat ibadah, tetapi juga untuk menyambut para pengunjung yang ingin merasakan kemeriahan tradisi Imlek.

Seminggu yang lalu, umat Tri Dharma telah melaksanakan kegiatan pembersihan altar serta patung-patung yang berada di dalam klenteng. Aktivitas ini merupakan salah satu bagian penting dalam rangkaian persiapan menyambut perayaan Tahun Baru Imlek. Selain membersihkan altar, kegiatan ini sekaligus menjadi bentuk penghormatan terhadap tradisi dan simbol-simbol keagamaan yang sakral.

Tradisi ini adalah sebuah prosesi sakral yang memiliki tujuan mulia, yaitu untuk mengantarkan para dewa dan dewi kembali ke langit. Dalam prosesi ini, para dewa-dewi tersebut dipercaya akan menyampaikan karma baik yang telah dikumpulkan oleh umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa sepanjang satu tahun terakhir.

“Malam ini kami mengadakan dua sesi sembahyang secara khusus, yaitu sembahyang untuk menutup Tahun Imlek 2573 serta sembahyang pembuka untuk menyambut datangnya Tahun Imlek 2574,” jelasnya dengan penuh makna.

Pada tahun 2023, umat Tri Dharma mengungkapkan doa dan harapan agar dunia segera terbebas sepenuhnya dari dampak pandemi yang telah melanda. Mereka terus berupaya untuk senantiasa bersyukur atas segala berkah yang telah diterima, serta berusaha menjalani kehidupan dengan penuh kebijaksanaan dalam setiap keputusan dan langkah yang diambil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top